Jumat, 02 April 2010

aku..dicerai atau dimadu??

Hari itu.. aku dengannya berkomitmen

untuk menjaga cinta kita..
Aku menjadi perempuan yg paling

bahagia.....
Pernikahan kami sederhana namun

meriah.....
Ia menjadi pria yang sangat romantis

pada waktu itu.
Aku bersyukur menikah dengan seorang

pria yang shaleh, pintar, tampan &
mapan pula.
Ketika kami berpacaran dia sudah sukses

dalam karirnya.
Kami akan berbulan madu di tanah suci,

itu janjinya ketika kami berpacaran
dulu..
Dan setelah menikah, aku mengajaknya

untuk umroh ke tanah suci....
Aku sangat bahagia dengannya, dan

dianya juga sangat memanjakan aku...
sangat terlihat dari rasa cinta dan

rasa sayangnya pada ku.
Banyak orang yang bilang kami adalah

pasangan yang serasi. Sangat terlihat
sekali bagaimana suamiku memanjakanku.

Dan aku bahagia menikah dengannya.
***
Lima tahun berlalu sudah kami menjadi

suami istri, sangat tak terasa waktu
begitu cepat berjalan walaupun kami

hanya hidup berdua saja karena sampai
saat ini aku belum bisa memberikannya

seorang malaikat kecil (bayi) di
tengah keharmonisan rumah tangga kami.
Karena dia anak lelaki satu-satunya

dalam keluarganya, jadi aku harus
berusaha untuk mendapatkan penerus

generasi baginya.
Alhamdulillah saat itu suamiku

mendukungku...
Ia mengaggap Allah belum mempercayai

kami untuk menjaga titipan-NYA.
Tapi keluarganya mulai resah. Dari awal

kami menikah, ibu & adiknya tidak
menyukaiku. Aku sering mendapat

perlakuan yang tidak menyenangkan dari
mereka, namun aku selalu berusaha

menutupi hal itu dari suamiku...
Didepan suami ku mereka berlaku sangat

baik padaku, tapi dibelakang suami
ku, aku dihina-hina oleh mereka...
Pernah suatu ketika satu tahun usia

pernikahan kami, suamiku mengalami
kecelakaan, mobilnya hancur.

Alhamdulillah suami ku selamat dari

maut yang
hampir membuat ku menjadi seorang janda

itu.
Ia dirawat dirumah sakit pada saat dia

belum sadarkan diri setelah
kecelakaan. Aku selalu menemaninya

siang & malam sambil kubacakan

ayat-ayat
suci Al - Qur'an. Aku sibuk bolak-balik

dari rumah sakit dan dari tempat aku
melakukan aktivitas sosial ku, aku

sibuk mengurus suamiku yang sakit

karena
kecelakaan.
Namun saat ketika aku kembali ke rumah

sakit setelah dari rumah kami, aku
melihat di dalam kamarnya ada ibu,

adik-adiknya dan teman-teman suamiku,

dan
disaat itu juga.. aku melihat ada

seorang wanita yang sangat akrab

mengobrol
dengan ibu mertuaku. Mereka tertawa

menghibur suamiku.
Alhamdulillah suamiku ternyata sudah

sadar, aku menangis ketika melihat
suami ku sudah sadar, tapi aku tak

boleh sedih di hadapannya.
Kubuka pintu yang tertutup rapat itu

sambil mengatakan, "Assalammu'alaikum"
dan mereka menjawab salam ku. Aku

berdiam sejenak di depan pintu dan

mereka
semua melihatku. Suamiku menatapku

penuh manja, mungkin ia kangen padaku
karena sudah 5 hari mata nya selalu

tertutup.
Tangannya melambai, mengisyaratkan aku

untuk memegang tangannya erat.
Setelah aku menghampirinya, kucium

tangannya sambil berkata
"Assalammu'alaikum", ia pun menjawab

salam ku dengan suaranya yg lirih namun
penuh dengan cinta. Aku pun senyum

melihat wajahnya.
Lalu.. Ibu nya berbicara denganku ...
"Fis, kenalkan ini Desi teman Fikri".
Aku teringat cerita dari suamiku bahwa

teman baiknya pernah mencintainya,
perempuan itu bernama Desi dan dia

sangat akrab dengan keluarga suamiku.
Hingga akhirnya aku bertemu dengan

orangnya juga. Aku pun langsung

berjabat
tangan dengannya, tak banyak aku bicara

di dalam ruangan tersebut,aku tak
mengerti apa yg mereka bicarakan.
Aku sibuk membersihkan & mengobati

luka-luka di kepala suamiku, baru
sebentar aku membersihkan mukanya,

tiba-tiba adik ipar ku yang bernama

Dian
mengajakku keluar, ia minta ditemani ke

kantin. Dan suamiku pun
mengijinkannya. Kemudian aku pun

menemaninya.
Tapi ketika di luar adik ipar ku

berkata, "lebih baik kau pulang saja,

ada
kami yg menjaga abang disini. Kau

istirahat saja. "
Anehnya, aku tak diperbolehkan

berpamitan dengan suamiku dengan alasan

abang
harus banyak beristirahat dan karena

psikologisnya masih labil. Aku berdebat
dengannya mempertanyakan mengapa aku

tidak diizinkan berpamitan dengan
suamiku. Tapi tiba-tiba ibu mertuaku

datang menghampiriku dan ia juga
mengatakan hal yang sama. Nantinya dia

akan memberi alasan pada suamiku
mengapa aku pulang tak berpamitan

padanya, toh suamiku selalu menurut apa
kata ibunya, baik ibunya salah ataupun

tidak, suamiku tetap saja
membenarkannya. Akhirnya aku pun pergi

meninggalkan rumah sakit itu dengan
linangan air mata..
Sejak saat itu aku tidak pernah

diijinkan menjenguk suamiku sampai ia
kembali dari rumah sakit. Dan aku hanya

bisa menangis dalam kesendirianku.
Menangis mengapa mereka sangat

membenciku.
***
Hari itu.. aku menangis tanpa sebab,

yang ada di benakku aku takut
kehilangannya, aku takut cintanya

dibagi dengan yang lain.
Pagi itu, pada saat aku membersihkan

pekarangan rumah kami, suamiku
memanggil ku ke taman belakang, ia baru

aja selesai sarapan, ia mengajakku
duduk di ayunan favorit kami sambil

melihat ikan-ikan yang bertaburan di
kolam air mancur itu.
Aku bertanya, " Ada apa kamu

memanggilku?"
Ia berkata, "Besok aku akan menjenguk

keluargaku di Sabang"
Aku menjawab, "Ia sayang.. aku tahu,

aku sudah mengemasi barang-barang kamu
di travel bag dan kamu sudah memeegang

tiket bukan?"
"Ya tapi aku tak akan lama disana, cuma

3 minggu aku disana, aku juga sudah
lama tidak bertemu dengan keluarga

besarku sejak kita menikah dan aku akan
pulang dengan mama ku", jawabnya tegas.
"Mengapa baru sekarang bicara, aku

pikir hanya seminggu saja kamu

disana?",
tanya ku balik kepadanya penuh dengan

rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa
karena ia baru memberitahukan rencana

kepulanggannya itu, padahal aku telah
bersusah payah mencarikan tiket pesawat

untuknya.
"Mama minta aku yang menemaninya saat

pulang nanti", jawabnya tegas.
"Sekarang aku ingin seharian dengan

kamu karena nanti kita 3 minggu tidak
bertemu, ya kan ?", lanjut nya lagi

sambil memelukku dan mencium keningku.
Hatiku sedih dengan keputusannya, tapi

tak boleh aku tunjukkan pada nya.
Bahagianya aku dimanja dengan suami

yang penuh dengan rasa sayang &

cintanya
walau terkadang ia bersikap kurang adil

terhadapku.
Aku hanya bisa tersenyum saja, padahal

aku ingin bersama suamiku, tapi
karena keluarganya tidak menyukaiku

hanya karena mereka cemburu padaku
karena suamiku sangat sayang padaku.
Kemudian aku memutuskan agar ia saja yg

pergi dan kami juga harus berhemat
dalam pengeluaran anggaran rumah tangga

kami.
Karena ini acara sakral bagi

keluarganya, jadi seluruh keluarganya

harus
komplit. Walaupun begitu, aku pun tetap

tak akan diperdulikan oleh
keluarganya harus datang ataupun tidak.

Tidak hadir justru membuat mereka
sangat senang dan aku pun tak mau

membuat riuh keluarga ini.
Malam sebelum kepergiannya, aku

menangis sambil membereskan keperluan

yang
akan dibawanya ke Sabang, ia menatapku

dan menghapus airmata yang jatuh
dipipiku, lalu aku peluk erat dirinya.

Hati ini bergumam tak merelakan dia
pergi seakan terjadi sesuatu, tapi aku

tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku
hanya bisa menangis karena akan

ditinggal pergi olehnya.
Aku tidak pernah ditinggal pergi selama

ini, karena kami selalu bersama-sama
kemana pun ia pergi.
Apa mungkin aku sedih karena aku

sendirian dan tidak memiliki teman,

karena
biasanya hanya pembantu sajalah teman

mengobrolku.
Hati ini sedih akan di tinggal pergi

olehnya.
Sampai keesokan harinya, aku terus

menangis... menangisi kepergiannya. Aku
tak tahu mengapa sesedih ini,

perasaanku tak enak, tapi aku tak boleh
berburuk sangka. Aku harus percaya

apada suamiku. Dia pasti akan selalu
menelponku.
***
Berjauhan dengan suamiku, aku merasa

sangat tidak nyaman, aku merasa
sendiri. Untunglah aku mempunyai

kesibukan sebagai seorang aktivis,

jadinya
aku tak terlalu kesepian ditinggal

pergi ke Sabang.
Saat kami berhubungan jarak jauh,

komunikasi kami memburuk dan aku pun

jatuh
sakit. Rahimku terasa sakit sekali

seperti di lilit oleh tali. Tak tahan

aku
menahan rasa sakit dirahimku ini,

sampai-sampai aku mengalami pendarahan.
Aku dilarikan ke rumah sakit oleh adik

laki-lakiku yang kebetulan menemaniku
disana. Dokter memvonis aku terkena

kanker mulut rahim stadium 3.
Aku menangis.. apa yang bisa aku

banggakan lagi..
Mertuaku akan semakin menghinaku,

suamiku yang malang yang selalu

berharap
akan punya keturunan dari rahimku...

namun aku tak bisa memberikannya
keturunan. Dan kemudian aku hanya bisa

memeluk adikku.
Aku kangen pada suamiku, aku selalu

menunggu ia pulang dan bertanya-tanya,
"kapankah ia segera pulang?" aku tak

tahu...
Sementara suamiku disana, aku tidak

tahu mengapa ia selalu marah-marah jika
menelponku. Bagaimana aku akan

menceritakan kondisiku jika ia selalu
marah-marah terhadapku..
Lebih baik aku tutupi dulu tetang hal

ini dan aku juga tak mau membuatnya
khawatir selama ia berada di Sabang.
Lebih baik nanti saja ketika ia sudah

pulang dari Sabang, aku akan cerita
padanya. Setiap hari aku menanti

suamiku pulang, hari demi hari aku
hitung...
Sudah 3 minggu suamiku di Sabang, malam

itu ketika aku sedang melihat
foto-foto kami, ponselku berbunyi

menandakan ada sms yang masuk.
Kubuka di inbox ponselku, ternyata dari

suamiku yang sms.
Ia menulis, "aku sudah beli tiket untuk

pulang, aku pulangnya satu hari
lagi, aku akan kabarin lagi".
Hanya itu saja yang diinfokannya. Aku

ingin marah, tapi aku pendam saja ego
yang tidak baik ini. Hari yg aku tunggu

pun tiba, aku menantinya di rumah.
Sebagai seorang istri, aku pun

berdandan yang cantik dan memakai

parfum
kesukaannya untuk menyambut suamiku

pulang, dan nantinya aku juga akan
menyelesaikan masalah komunikasi kami

yg buruk akhir-akhir ini.
Bel pun berbunyi, kubukakan pintu

untuknya dan ia pun mengucap salam.
Sebelum masuk, aku pegang tangannya

kedepan teras namun ia tetap berdiri,
aku membungkuk untuk melepaskan sepatu,

kaos kaki dan kucuci kedua kakinya,
aku tak mau ada syaithan yang masuk ke

dalam rumah kami.
Setelah itu akupun berdiri langsung

mencium tangannya tapi apa reaksinya..
Masya Allah.. ia tidak mencium

keningku, ia hanya diam dan langsung

naik
keruangan atas, kemudian mandi dan

tidur tanpa bertanya kabarku..
Aku hanya berpikir, mungkin dia capek.

Aku pun segera merapikan bawaan nya
sampai aku pun tertidur. Malam

menunjukkan 1/3 malam, mengingatkan aku

pada
tempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha

Pencipta.
Biasa nya kami selalu berjama'ah, tapi

karena melihat nya tidur sangat
pulas, aku tak tega membangunkannya.

Aku hanya mengeelus wajahnya dan aku
cium keningnya, lalu aku sholat tahajud

8 rakaat plus witir 3 raka'at.
***
Aku mendengar suara mobilnya, aku

terbangun lalu aku melihat dirinya dari
balkon kamar kami yang bersiap-siap

untuk pergi. Lalu aku memanggilnya tapi
ia tak mendengar. Kemudian aku ambil

jilbabku dan aku berlari dari atas ke
bawah tanpa memperdulikan darah yg

bercecer dari rahimku untuk mengejarnya
tapi ia begitu cepat pergi.
Aku merasa ada yang aneh dengan

suamiku. Ada apa dengan suamiku?

Mengapa ia
bersikap tidak biasa terhadapku?
Aku tidak bisa diam begitu saja,

firasatku mengatakan ada sesuatu. Saat

itu
juga aku langsung menelpon kerumah

mertuakudan kebetulan Dian yang
mengangkat telponnya, aku bercerita dan

aku bertanya apa yang sedang terjadi
dengan suamiku. Dengan enteng ia

menjawab, "Loe pikir aja sendiri!!!".
Telpon pun langsung terputus.
Ada apa ini? Tanya hatiku penuh dalam

kecemasan. Mengapa suamiku berubah
setelah ia kembali dari kota

kelahirannya. Mengapa ia tak mau

berbicara
padaku, apalagi memanjakan aku.
Semakin hari ia menjadi orang yang

pendiam, seakan ia telah melepas

tanggung
jawabnya sebagai seorang suami. Kami

hanya berbicara seperlunya saja, aku
selalu diintrogasinya. Selalu bertanya

aku dari mana dan mengapa pulang
terlambat dan ia bertanya dengan nada

yg keras. Suamiku telah berubah.
Bahkan yang membuat ku kaget, aku

pernah dituduhnya berzina dengan mantan
pacarku. Ingin rasanya aku menampar

suamiku yang telah menuduhku serendah
itu, tapi aku selalu ingat..

sebagaimana pun salahnya seorang suami,

status
suami tetap di atas para istri, itu

pedoman yang aku pegang.
Aku hanya berdo'a semoga suamiku sadar

akan prilakunya.
***
Dua tahun berlalu, suamiku tak kunjung

berubah juga. Aku menangis setiap
malam, lelah menanti seperti ini, kami

seperti orang asing yang baru saja
berkenalan.
Kemesraan yang kami ciptakan dulu telah

sirna. Walaupun kondisinya tetap
seperti itu, aku tetap merawatnya &

menyiakan segala yang ia perlukan.
Penyakitkupun masih aku simpan dengan

baik dan sekalipun ia tak pernah
bertanya perihal obat apa yang aku

minum. Kebahagiaan ku telah sirna,
harapan menjadi ibu pun telah aku

pendam. Aku tak tahu kapan ini semua

akan
berakhir.
Bersyukurlah.. aku punya penghasilan

sendiri dari aktifitasku sebagai
seorang guru ngaji, jadi aku tak perlu

meminta uang padanya hanya untuk
pengobatan kankerku. Aku pun hanya

berobat semampuku.
Sungguh.. suami yang dulu aku puja dan

aku banggakan, sekarang telah menjadi
orang asing bagiku, setiap aku bertanya

ia selalu menyuruhku untuk berpikir
sendiri. Tiba-tiba saja malam itu

setelah makan malam usai, suamiku
memanggilku.
"Ya, ada apa Yah!" sahutku dengan

memanggil nama kesayangannya "Ayah".
"Lusa kita siap-siap ke Sabang ya."

Jawabnya tegas.
" Ada apa? Mengapa?", sahutku penuh

dengan keheranan.
Astaghfirullah.. suami ku yang dulu

lembut tiba-tiba saja menjadi kasar,

dia
membentakku. Sehingga tak ada lagi

kelanjutan diskusi antara kami.
Dia mengatakan "Kau ikut saja jangan

banyak tanya!!"
Lalu aku pun bersegera mengemasi

barang-barang yang akan dibawa ke

Sabang
sambil menangis, sedih karena suamiku

kini tak ku kenal lagi.
Dua tahun pacaran, lima tahun kami

menikah dan sudah 2 tahun pula ia

menjadi
orang asing buatku.. Ku lihat kamar

kami yg dulu hangat penuh cinta yang
dihiasi foto pernikahan kami, sekarang

menjadi dingin.. sangat dingin dari
batu es. Aku menangis dengan

kebingungan ini. Ingin rasanya aku

berontak
berteriak, tapi aku tak bisa.
Suamiku tak suka dengan wanita yang

kasar, ngomong dengan nada tinggi, suka
membanting barang-barang. Dia bilang

perbuatan itu menunjukkan sikap
ketidakhormatan kepadanya. Aku hanya

bisa bersabar menantinya bicara dan
sabar mengobati penyakitku ini, dalam

kesendirianku..
***
Kami telah sampai di Sabang, aku masih

merasa lelah karena semalaman aku
tidak tidur karena terus berpikir.

Keluarga besarnya juga telah berkumpul
disana, termasuk ibu & adik-adiknya.

Aku tidak tahu ada acara apa ini..
Aku dan suamiku pun masuk ke kamar

kami. Suamiku tak betah didalam kamar

tua
itu, ia pun langsung keluar bergabung

dengan keluarga besarnya.
Baru saja aku membongkar koper kami dan

ingin memasukkannya ke dalam lemari
tua yg berada di dekat pintu kamar,

lemari tua yang telah ada sebelum
suamiku lahir tiba-tiba Tante Lia,

tante yang sangat baik padaku memanggil
ku untuk bersegera berkumpul diruang

tengah, aku pun menuju ke ruang
keluarga yang berada ditengah rumah

besar itu, yang tampak seperti rumah
zaman peninggalan belanda.
Kemudian aku duduk disamping suamiku,

dan suamiku menunduk penuh dengan
kebisuan, aku tak berani bertanya

padanya.
Tiba-tiba saja neneknya, orang yang

dianggap paling tua dan paling berhak
atas semuanya, membuka pembicaraan.
"Baiklah, karena kalian telah

berkumpul, nenek ingin bicara dengan

kau
Fisha". Neneknya berbicara sangat

tegas, dengan sorot mata yang tajam.
" Ada apa ya Nek?" sahutku dengan penuh

tanya..
Nenek pun menjawab, "Kau telah

bergabung dengan keluarga kami hampir 8
tahun, sampai saat ini kami tak melihat

tanda-tanda kehamilan yang sempurna
sebab selama ini kau selalu

keguguran!!".
Aku menangis.. untuk inikah aku

diundang kemari? Untuk dihina ataukah
dipisahkan dengan suamiku?
"Sebenarnya kami sudah punya calon

untuk Fikri, dari dulu.. sebelum kau
menikah dengannya. Tapi Fikri anak yang

keras kepala, tak mau di atur,dan
akhirnya menikahlah ia dengan kau."

Neneknya berbicara sangat lantang,
mungkin logat orang Sabang seperti itu

semua.
Aku hanya bisa tersenyum dan melihat

wajah suamiku yang kosong matanya.
"Dan aku dengar dari ibu mertuamu kau

pun sudah berkenalan dengannya",
neneknya masih melanjutkan pembicaraan

itu.
Sedangkan suamiku hanya terdiam saja,

tapi aku lihat air matanya. Ingin aku
peluk suamiku agar ia kuat dengan semua

ini, tapi aku tak punya keberanian
itu.
Neneknya masih saja berbicara panjang

lebar dan yang terakhir dari ucapannya
dengan mimik wajah yang sangat

menantang kemudian berkata, "kau maunya
gimana? kau dimadu atau diceraikan?"
MasyaAllah.. kuatkan hati ini.. aku

ingin jatuh pingsan. Hati ini seakan
remuk mendengarnya, hancur hatiku.

Mengapa keluarganya bersikap seperti

ini
terhadapku..
Aku selalu munutupi masalah ini dari

kedua orang tuaku yang tinggal di pulau
kayu, mereka mengira aku sangat bahagia

2 tahun belakangan ini.
"Fish, jawab!." Dengan tegas Ibunya

langsung memintaku untuk menjawab.
Aku langsung memegang tangan suamiku.

Dengan tangan yang dingin dan gemetar
aku menjawab dengan tegas.
"Walaupun aku tidak bisa berdiskusi

dulu dengan imamku, tapi aku dapat
berdiskusi dengannya melalui bathiniah,

untuk kebaikan dan masa depan
keluarga ini, aku akan menyambut baik

seorang wanita baru dirumah kami."
Itu yang aku jawab, dengan kata lain

aku rela cintaku dibagi. Dan pada saat
itu juga suamiku memandangku dengan

tetesan air mata, tapi air mataku tak
sedikit pun menetes di hadapan mereka.
Aku lalu bertanya kepada suamiku, "Ayah

siapakah yang akan menjadi sahabatku
dirumah kita nanti, yah?"
Suamiku menjawab, "Dia Desi!"
Aku pun langsung menarik napas dan

langsung berbicara, "Kapan

pernikahannya
berlangsung? Apa yang harus saya

siapkan dalam pernikahan ini Nek?."
Ayah mertuaku menjawab, "Pernikahannya

2 minggu lagi."
"Baiklah kalo begitu saya akan menelpon

pembantu di rumah, untuk menyuruhnya
mengurus KK kami ke kelurahan besok",

setelah berbicara seperti itu aku
permisi untuk pamit ke kamar.
Tak tahan lagi.. air mata ini akan

turun, aku berjalan sangat cepat, aku
buka pintu kamar dan aku langsung duduk

di tempat tidur. Ingin berteriak,
tapi aku sendiri disini. Tak kuat

rasanya menerima hal ini, cintaku telah
dibagi. Sakit. Diiringi akutnya

penyakitku..
Apakah karena ini suamiku menjadi orang

yang asing selama 2 tahun belakangan
ini?
Aku berjalan menuju ke meja rias,

kubuka jilbabku, aku bercermin sambil
bertanya-tanya, "sudah tidak cantikkah

aku ini?"
Ku ambil sisirku, aku menyisiri

rambutku yang setiap hari rontok.

Kulihat
wajahku, ternyata aku memang sudah

tidak cantik lagi, rambutku sudah

hampir
habis.. kepalaku sudah botak dibagian

tengahnya.
Tiba-tiba pintu kamar ini terbuka,

ternyata suamiku yang datang, ia

berdiri
dibelakangku. Tak kuhapus air mata ini,

aku bersegera memandangnya dari
cermin meja rias itu.
Kami diam sejenak, lalu aku mulai

pembicaraan, "terima kasih ayah, kamu
memberi sahabat kepada ku. Jadi aku tak

perlu sedih lagi saat ditinggal
pergi kamu nanti! Iya kan ?."
Suamiku mengangguk sambil melihat

kepalaku tapi tak sedikitpun ia

tersenyum
dan bertanya kenapa rambutku rontok,

dia hanya mengatakan jangan salah
memakai shampo.
Dalam hatiku bertanya, "mengapa ia

sangat cuek?" dan ia sudah tak
memanjakanku lagi. Lalu dia berkata,

"sudah malam, kita istirahat yuk!"
"Aku sholat isya dulu baru aku tidur",

jawabku tenang.
Dalam sholat dan dalam tidur aku

menangis. Ku hitung mundur waktu, kapan

aku
akan berbagi suami dengannya. Aku pun

ikut sibuk mengurusi pernikahan
suamiku.
Aku tak tahu kalau Desi orang Sabang

juga. Sudahlah, ini mungkin takdirku.
Aku ingin suamiku kembali seperti dulu,

yang sangat memanjakan aku atas rasa
sayang dan cintanya itu.
***
Malam sebelum hari pernikahan suamiku,

aku menulis curahan hatiku di
laptopku.
Di laptop aku menulis saat-saat

terakhirku melihat suamiku, aku marah

pada
suamiku yang telah menelantarkanku. Aku

menangis melihat suamiku yang sedang
tidur pulas, apa salahku? sampai ia

berlaku sekejam itu kepadaku. Aku
save di mydocument yang bertitle "Aku

Mencintaimu Suamiku."
Hari pernikahan telah tiba, aku telah

siap, tapi aku tak sanggup untuk
keluar. Aku berdiri didekat jendela,

aku melihat matahari, karena mungkin
saja aku takkan bisa melihat sinarnya

lagi. Aku berdiri sangat lama.. lalu
suamiku yang telah siap dengan pakaian

pengantinnya masuk dan berbicara
padaku.
"Apakah kamu sudah siap?"
Kuhapus airmata yang menetes diwajahku

sambil berkata :
"Nanti jika ia telah sah jadi istrimu,

ketika kamu membawa ia masuk kedalam
rumah ini, cucilah kakinya sebagaimana

kamu mencuci kakiku dulu, lalu ketika
kalian masuk ke dalam kamar pengantin

bacakan do'a di ubun-ubunnya
sebagaimana yang kamu lakukan padaku

dulu. Lalu setelah itu..", perkataanku
terhenti karena tak sanggup aku

meneruskan pembicaraan itu, aku ingin
menagis meledak.
Tiba-tiba suamiku menjawab "Lalu apa

Bunda?"
Aku kaget mendengar kata itu, yang

tadinya aku menunduk seketika aku
langsung menatapnya dengan mata yang

berbinar-binar...
"Bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan

barusan?", pintaku tuk menyakini
bahwa kuping ini tidak salah mendengar.
Dia mengangguk dan berkata, "Baik bunda

akan ayah ulangi, lalu apa bunda?",
sambil ia mengelus wajah dan menghapus

airmataku, dia agak sedikit
membungkuk karena dia sangat tinggi,

aku hanya sedadanya saja.
Dia tersenyum sambil berkata, "Kita

liat saja nanti ya!". Dia memelukku dan
berkata, "bunda adalah wanita yang

paling kuat yang ayah temui selain

mama".
Kemudian ia mencium keningku, aku

langsung memeluknya erat dan berkata,
"Ayah, apakah ini akan segera berakhir?

Ayah kemana saja? Mengapa Ayah
berubah? Aku kangen sama Ayah? Aku

kangen belaian kasih sayang Ayah? Aku
kangen dengan manjanya Ayah? Aku

kesepian Ayah? Dan satu hal lagi yang

harus
Ayah tau, bahwa aku tidak pernah

berzinah! Dulu.. waktu awal kita

pacaran,
aku memang belum bisa melupakannya,

setelah 4 bulan bersama Ayah baru bisa
aku terima, jika yang dihadapanku itu

adalah lelaki yang aku cari. Bukan
berarti aku pernah berzina Ayah." Aku

langsung bersujud di kakinya dan
muncium kaki imamku sambil berkata,

"Aku minta maaf Ayah, telah membuatmu
susah".
Saat itu juga, diangkatnya badanku.. ia

hanya menangis.
Ia memelukku sangat lama, 2 tahun aku

menanti dirinya kembali. Tiba-tiba
perutku sakit, ia menyadari bahwa ada

yang tidak beres denganku dan ia
bertanya, "bunda baik-baik saja kan ?"

tanyanya dengan penuh khawatir.
Aku pun menjawab, "bisa memeluk dan

melihat kamu kembali seperti dulu itu
sudah mebuatku baik, Yah. Aku hanya tak

bisa bicara sekarang". Karena dia
akan menikah. Aku tak mau membuat dia

khawatir. Dia harus khusyu menjalani
acara prosesi akad nikah tersebut.
***
Setelah tiba dimasjid, ijab-qabul pun

dimulai. Aku duduk diseberang suamiku.
Aku melihat suamiku duduk berdampingan

dengan perempuan itu, membuat hati
ini cemburu, ingin berteriak

mengatakan, "Ayah jangan!!", tapi aku

ingat
akan kondisiku.
Jantung ini berdebar kencang saat

mendengar ijab-qabul tersebut.. Begitu
ijab-qabul selesai, aku menarik napas

panjang. Tante Lia, tante yang baik
itu, memelukku. Dalam hati aku berusaha

untuk menguatkan hati ini. Ya... aku
kuat.
Tak sanggup aku melihat mereka duduk

bersanding dipelaminan. Orang-orang
yang hadir di acara resepsi itu iba

melihatku, mereka melihatku dengan
tatapan sangat aneh, mungkin melihat

wajahku yang selalu tersenyum, tapi
dibalik itu.. hatiku menangis.
Sampai dirumah, suamiku langsung masuk

ke dalam rumah begitu saja. Tak
mencuci kakinya. Aku sangat heran

dengan perilakunya. Apa iya, dia tidak
suka dengan pernikahan ini?
Sementara itu Desi disambut hangat di

dalam keluarga suamiku, tak seperti
aku dahulu, yang di musuhi.
Malam ini aku tak bisa tidur, bagaimana

bisa? Suamiku akan tidur dengan
perempuan yang sangat aku cemburui. Aku

tak tahu apa yang sedang mereka
lakukan didalam sana .
Sepertiga malam pada saat aku ingin

sholat lail aku keluar untuk berwudhu,
lalu aku melihat ada lelaki yang mirip

suamiku tidur disofa ruang tengah.
Kudekati lalu kulihat. Masya Allah..

suamiku tak tidur dengan wanita itu, ia
ternyata tidur disofa, aku duduk disofa

itu sambil menghelus wajahnya yang
lelah, tiba-tiba ia memegang tangan

kiriku, tentu saja aku kaget.
"Kamu datang ke sini, aku pun tahu", ia

berkata seperti itu. Aku tersenyum
dan megajaknya sholat lail. Setelah

sholat lail ia berkata, "maafkan aku,
aku tak boleh menyakitimu, kamu

menderita karena ego nya aku. Besok

kita
pulang ke Jakarta , biar Desi pulang

dengan mama, papa dan juga adik-adikku"
Aku menatapnya dengan penuh keheranan.

Tapi ia langsung mengajakku untuk
istirahat. Saat tidur ia memelukku

sangat erat. Aku tersenyum saja, sudah
lama ini tidak terjadi. Ya Allah..

apakah Engkau akan menyuruh malaikat

maut
untuk mengambil nyawaku sekarang ini,

karena aku telah merasakan
kehadirannya saat ini. Tapi.. masih

bisakah engkau ijinkan aku untuk
merasakan kehangatan dari suamiku yang

telah hilang selama 2 tahun ini..
Suamiku berbisik, "Bunda kok kurus?"
Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya

masih bisa aku rasakan.
Aku pun berkata, "Ayah kenapa tidak

tidur dengan Desi?"
"Aku kangen sama kamu Bunda, aku tak

mau menyakitimu lagi. Kamu sudah sering
terluka oleh sikapku yang egois."

Dengan lembut suamiku menjawab seperti
itu.
Lalu suamiku berkata, "Bun, ayah minta

maaf telah menelantarkan bunda..
Selama ayah di Sabang, ayah dengar

kalau bunda tidak tulus mencintai ayah,
bunda seperti mengejar sesuatu, seperti

mengejar harta ayah dan satu lagi..
ayah pernah melihat sms bunda dengan

mantan pacar bunda dimana isinya kalau
bunda gak mau berbuat "seperti itu" dan

tulisan seperti itu diberi tanda
kutip ("seperti itu"). Ayah ingin

ngomong tapi takut bunda tersinggung

dan
ayah berpikir kalau bunda pernah tidur

dengannya sebelum bunda bertemu ayah,
terus ayah dimarahi oleh keluarga ayah

karena ayah terlalu memanjakan bunda"
Hati ini sakit ketika difitnah oleh

suamiku, ketika tidak ada kepercayaan

di
dirinya, hanya karena omongan

keluarganya yang tidak pernah melihat

betapa
tulusnya aku mencintai pasangan seumur

hidupku ini.
Aku hanya menjawab, "Aku sudah

ceritakan itu kan Yah. Aku tidak pernah
berzinah dan aku mencintaimu setulus

hatiku, jika aku hanya mengejar
hartamu, mengapa aku memilih kamu?

Padahal banyak lelaki yang lebih mapan
darimu waktu itu Yah. Jika aku hanya

mengejar hartamu, aku tak mungkin
setiap hari menangis karena menderita

mencintaimu."
Entah aku harus bahagia atau aku harus

sedih karena sahabatku sendirian
dikamar pengantin itu. Malam itu, aku

menyelesaikan masalahku dengan suamiku
dan berusaha memaafkannya beserta sikap

keluarganya juga.
Karena aku tak mau mati dalam hati yang

penuh dengan rasa benci.
***
Keesokan harinya...
Ketika aku ingin terbangun untuk

mengambil wudhu, kepalaku pusing,

rahimku
sakit sekali.. aku mengalami pendarahan

dan suamiku kaget bukan main, ia
langsung menggendongku.
Aku pun dilarikan ke rumah sakit..
Dari kejauhan aku mendengar suara zikir

suamiku..
Aku merasakan tanganku basah...
Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah

suamiku penuh dengan rasa
kekhawatiran.
Ia menggenggam tanganku dengan erat..

Dan mengatakan, "Bunda, Ayah minta
maaf..."
Berkali-kali ia mengucapkan hal itu.

Dalam hatiku, apa ia tahu apa yang
terjadi padaku?
Aku berkata dengan suara yang lirih,

"Yah, bunda ingin pulang.. bunda ingin
bertemu kedua orang tua bunda, anterin

bunda kesana ya, Yah.."
"Ayah jangan berubah lagi ya! Janji ya,

Yah... !!! Bunda sayang banget sama
Ayah."
Tiba-tiba saja kakiku sakit sangat

sakit, sakitnya semakin keatas, kakiku
sudah tak bisa bergerak lagi.. aku tak

kuat lagi memegang tangan suamiku.
Kulihat wajahnya yang tampan, berlinang

air mata.
Sebelum mata ini tertutup, kulafazkan

kalimat syahadat dan ditutup dengan
kalimat tahlil..
Aku bahagia melihat suamiku punya

pengganti diriku..
Aku bahagia selalu melayaninya dalam

suka dan duka..
Menemaninya dalam ketika ia mengalami

kesulitan dari kami pacaran sampai
kami menikah.
Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah

nafasku.
Untuk Ibu mertuaku : "Maafkan aku telah

hadir didalam kehidupan anakmu
sampai aku hidup didalam hati anakmu,

ketahuilah Ma.. dari dulu aku selalu
berdo'a agar Mama merestui hubungan

kami. Mengapa engkau fitnah diriku
didepan suamiku, apa engkau punya

buktinya Ma? Mengapa engkau sangat

cemburu
padaku Ma? Fikri tetap milikmu Ma, aku

tak pernah menyuruhnya untuk durhaka
kepadamu, dari dulu aku selalu mengerti

apa yang kamu inginkan dari anakmu,
tapi mengapa kau benci diriku. Dengan

Desi kau sangat baik tetapi denganku
menantumu kau bersikap sebaliknya."

***



Setelah ku buka laptop, kubaca curhatan

istriku.
=======================================

=========== ===
Ayah, mengapa keluargamu sangat

membenciku?
Aku dihina oleh mereka ayah.
Mengapa mereka bisa baik terhadapku

pada saat ada dirimu?
Pernah suatu ketika aku bertemu Dian di

jalan, aku menegurnya karena dia
adik iparku tapi aku disambut dengan

wajah ketidaksukaannya. Sangat terlihat
Ayah..
Tapi ketika engkau bersamaku, Dian

sangat baik, sangat manis dan ia
memanggilku dengan panggilan yang

sangat menghormatiku. Mengapa seperti

itu
ayah?
Aku tak bisa berbicara tentang ini

padamu, karena aku tahu kamu pasti
membela adikmu, tak ada gunanya Yah..
Aku diusir dari rumah sakit.
Aku tak boleh merawat suamiku.
Aku cemburu pada Desi yang sangat akrab

dengan mertuaku.
Tiap hari ia datang ke rumah sakit

bersama mertuaku.
Aku sangat marah..
Jika aku membicarakan hal ini pada

suamiku, ia akan pasti membela Desi dan
ibunya..
Aku tak mau sakit hati lagi.
Ya Allah kuatkan aku, maafkan aku...
Engkau Maha Adil..
Berilah keadilan ini padaku, Ya Allah..
Ayah sudah berubah, ayah sudah tak

sayang lagi pada ku..
Aku berusaha untuk mandiri ayah, aku

tak akan bermanja-manja lagi padamu..
Aku kuat ayah dalam kesakitan ini..
Lihatlah ayah, aku kuat walaupun

penyakit kanker ini terus menyerangku..
Aku bisa melakukan ini semua sendiri

ayah..
Besok suamiku akan menikah dengan

perempuan itu.
Perempuan yang aku benci, yang aku

cemburui.
Tapi aku tak boleh egois, ini untuk

kebahagian keluarga suamiku.
Aku harus sadar diri.
Ayah, sebenarnya aku tak mau diduakan

olehmu.
Mengapa harus Desi yang menjadi

sahabatku?
Ayah.. aku masih tak rela.
Tapi aku harus ikhlas menerimanya.
Pagi nanti suamiku melangsungkan

pernikahan keduanya.
Semoga saja aku masih punya waktu untuk

melihatnya tersenyum untukku.
Aku ingin sekali merasakan kasih

sayangnya yang terakhir.
Sebelum ajal ini menjemputku.
Ayah.. aku kangen ayah..
=======================================

=========== ===
Dan kini aku telah membawamu ke orang

tuamu, Bunda..
Aku akan mengunjungimu sebulan sekali

bersama Desi di Pulau Kayu ini.
Aku akan selalu membawakanmu bunga

mawar yang berwana pink yang

mencerminkan
keceriaan hatimu yang sakit tertusuk

duri.
Bunda tetap cantik, selalu tersenyum

disaat tidur..
Bunda akan selalu hidup dihati ayah.
Bunda.. Desi tak sepertimu, yang tidak

pernah marah..
Desi sangat berbeda denganmu, ia tak

pernah membersihkan telingaku, rambutku
tak pernah di creambathnya, kakiku pun

tak pernah dicucinya.
Ayah menyesal telah menelantarkanmu

selama 2 tahun, kamu sakit pun aku tak
perduli, hidup dalam kesendirianmu..
Seandainya Ayah tak menelantarkan

Bunda, mungkin ayah masih bisa tidur
dengan belaian tangan Bunda yang halus.
Sekarang Ayah sadar, bahwa ayah sangat

membutuhkan bunda..
Bunda, kamu wanita yang paling tegar

yang pernah kutemui.
Aku menyesal telah asik dalam

ke-egoanku..
Bunda.. maafkan aku.. Bunda tidur tetap

manis. Senyum manjamu terlihat di
tidurmu yang panjang.
Maafkan aku, tak bisa bersikap adil dan

membahagiakanmu, aku selalu
meng-iyakan apa kata ibuku, karena aku

takut menjadi anak durhaka. Maafkan
aku ketika kau di fitnah oleh

keluargaku, aku percaya begitu saja.
Apakah Bunda akan mendapat pengganti

ayah di surga sana ?
Apakah Bunda tetap menanti ayah disana?

Tetap setia dialam sana ?
Tunggulah Ayah disana Bunda..
Bisakan? Seperti Bunda menunggu ayah di

sini.. Aku mohon..
Ayah Sayang Bunda.


(ini kiriman dr temanq..hehehe..)